Breaking News
Beranda » Alawiyyin » Kafa’ah Nasab

Kafa’ah Nasab

Bismillahirrahmaanirrahiim

Kafa’ah menurut bahasa berarti kesepadanan atau kesetaraan. Adapun yang dimaksud disini yakni dalam pernikahan adalah sepadannya seorang suami dengan istrinya dalam kedudukan, pendidikan, kekayaan, stasus sosial, dan sebagainya. Dan sudah barang tentu, jika kedudukan seorang suami setara dengan kedudukan istrinya, maka hal itu pasti besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dan keharmonisan kehidupan pernikahan mereka. Sebaliknya, apabila si suami lebih rendah kedudukannya, maka besar kemungkinannya bahwa pernikahan mereka akan terancam kegagalan dan ketidakharmonisan. Sebabnya adalah bahwa si istri adakalanya akan menghinakannya sewaktu-waktu dengan kerendahan statusnya itu. Paling tidak, ketika terjadi pertengkaran antara mereka sebagaimana yang adakalanya berlangsung antara suami-istri.

Oleh sebab itu, agama islam menganjurkan agar persoalan ini diberi perhatian yang cukup sehingga tidak menimbulkan kekecewaan dan penyesalan di kemudian hari.

Selain keislaman dan akhlak yang baik ada beberapa aspek dalam hal kesepadanan (kafa’ah), yaitu :

  1. Nasab
  2. Pekerjaan
  3. Kekayaan
  4. Kesempurnaan Anggota tubuh.

Kami disini hanya akan membahas point kesatu yaitu Kafa’ah dalam nasab.

Menurut madzhab syafi’i, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal, seorang perempuan dari Bani Hasyim (dzuriyyat Rasul saw), tidak boleh dinikahkan oleh laki-laki dari selain sayyid kecuali disetujui oleh perempuan itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-wali) nya. Bahkan menurut sebagian ulama madzhab Hanbali, kalaupun mereka rela dan menikahkannya dengan selain sayyid, maka mereka berdosa dan pernikahan tersebut dianggap tidak sah adanya. Dan menurut Imam Malik kafa’ah bukan merupakan persyaratan dalam sahnya pernikahan.

Berkaitan dengan Kafa’ah, mayoritas Fuqaha berpendapat bahwa kafa’ah adalah hak calon istri dan wali-nya. Syariat Islam selalu menjaga kemaslahatan, kebutuhan, perasaan dan kehormatan umatnya. Coba Anda renungkan baik-baik mengapa Islam menetapkan hak persyaratan kafa’ah dalam pernikahan pada calon istri dan wali nya, hal itu demi mengantisipasi terjadinya kesalahan dalam menentukan pasangan suami, sehingga baik sang wali ataupun istri tidak dipersalahkan di kemudian hari. Allah swt sebagai penetap syari’at tentu Maha Mengetahui baik buruk serta apa saja yang dapat mendatangkan maslahat bagi setiap hamba-Nya. Karena itu kita perlu mengetahui ketentuan syari’at Islam lalu berusaha memahami hikmah dibalik penetapannya.

Mengapa syarifah harus menikah dengan sekufu

Kafa’ah dalam pernikahan dilingkungan keluarga Alawiyyin memang harus dijaga ketat dan dipelihara karena siapakah yang akan menjaga dan melestarikan kelangsungan dzuriyyat (keturunan Nabi Muhammad saw)? Sesungguhnya setiap orang mempunyai hak kafa’ah, terserah kepadanya apakah ia akan mempergunakannya atau tidak. Pada umumnya orang cina misalnya, masalah pernikahan mereka sangat ketat menjaga garis keturunan mereka dengan baik, dan itu hak asasi mereka. Raja-raja di jawa juga sangat ketat pula menjaga silsilah keturunannya. Keturunan bangsawan, sampai raja-raja di benua Eropa, Lord di Inggris, Baron di Perancis semuanya sangat hati-hati dalam urusan pernikahan, dan memang mereka juga berhak untuk itu. Tetapi kalau kemudian masalah syarifah yang menjadi sorotan, ternyata identik dengan nasab serta dzuriyyat Rasulullah saw. Mengapa demikian, ternyata disana tersimpan kemuliaannya tersendiri, dan pada diri syarifah itulah lambang kemuliaan itu. Tetapi sangat disayangkan, dan hampir-hampir sulit dipahami, tidak sedikit kaum sayyid yang awam tidak mengerti kemuliaan miliknya ini, dan malah menikah dengan wanita diluar kalangannya sendiri. Salah satu kemuliaan yang tidak dapat ditukar dengan apapun juga, yaitu aal Muhammad saw.

Kok Alawiyyin terkesan bangga dengan nasabnya

Haruslah diingat, bahwa orang yang menjaga kesucian nasabnya tidak harus diartikan membanggakan diri, tetapi itu artinya mensyukuri dengan cara menjaga, dan memeliharanya. Segala sesuatu yang dikaruniakan Allah kepada kita, apakah harta kekayaan, kekuasaan, pangkat dan jabatan yang tinggi, menjadi ‘Ulama, keturunan bangsawan, sampai kepada yang ditakdirkan menjadi Dzuriyyat Nabi saw, patutlah kita terima sebagai amanah, yang harus kita jaga, pelihara serta tidak lupa kita bersyukur kepada Allah seraya bermohon selalu kepada Nya supaya kita diberi kekuatan serta kemampuan agar dapat menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap karunia dan pemberian Allah swt itu.

Masalah kafa’ah atau kesetaraan didalam pernikahan tidak dimonopoli oleh kaum Alawiyyin semata. Syarat hukum kafa’ah sendiri telah diatur didalam hukum pernikahan Islam. Menjaga dan melindingi kelangsungan nasab-keturunan yang baik, tidaklah serta merta identik dengan sebuah kesombongan dan kecongkakan. Tidak juga merusak syari’at Islam yang mulia, tidak identik pula dengan diskriminasi rasial. Ia bahkan sebuah kewajiban orang beriman, bukankah urat nadi keturunan itu penting ?

Tetapi bukankah setiap manusia itu sama dihadapan Allah swt ?

Persamaan manusia dihadapan Allah swt adalah hal yang jelas dan pasti. Dan bahwa kemuliaan seseorang dimata Allah swt adalah karena taqwanya kepada Alla semata, itupun sudah pasti dan telah diketahui secara luas dan umum. Orang kaya, orang miskin, orang Eropa, Asia, Afrika. Atau pejabat tinggi, raja, presiden atau rakyat biasa, habaib, sayyid, semuanya mempunyai kewajiban yang sama kepada Allah swt.

Namun itu tak berarti karunia Allah sekaligus sebagai amanah kepada seseorang berupa pangkat, harta kekayaan, kekuasaan, kebangsawanan, atau nasab tidak lantas dinafikan begitu saja, toh semuanya itu adalah pemberian Allah swt.

Semua orang tahu bahwa asal usul manusia dari Nabi Adam as dan Siti Hawa as. Tetapi tidak semua orang tahu bahwa dari anak-anak keturunan Nabi Adam as itu ada yang baik kemudian menjadi Nabi-nabi seperti Nabi Syth as. Tetapi diantaranya pula ada keturunan orang-orang jahat yang menjadi pembunuh.

Kami syarifah merasa terkekang dan terbatasi oleh kafa’ah. Kami menderita.

Itu karena syarifah yang belum mengenali betul keutamaan dari aal muhammad saw, karena syarifah yang belum memahami bahwa didalam dirinya terdapat kemuliaan. Syariat Islam selalu mengutamakan kemaslahatan dan menjaga kehormatannya. Syarifah yang menikah dengan pria bukan sayyid selain dapat memutus nasabnya juga mempunyai dampak sosial yang sangat dalam. Berapa banyak syarifah yang terlanjur nikah dengan pria bukan sayyid yang sesungguhnya hidup dalam penyesalan? Menderita karena kemauannya sendiri. Begitu pula berapa banyak sayyid atau Ba’alawi yang saat ini meratap, menagis menyesali dirinya sendiri yang telah melepaskan puterinya (syarifah) yang dinikahkan sendiri kepada pria yang tidak sekufu’? Dapatkah anda tunjukkan syarifah manakah yang hidup berbahagia secara hakiki ketika dia bersuamikan seorang lelaki bukan sayyid? Tahukah pula anda ada berapa banyak wanita kita (syarifah) yang dinikahkan oleh pria bukan sayyid yang kemudian menghina mereka? Memperlakukan mereka sangat buruk dan menjadikan mereka tidak berharga? Kemudian bagaimana syarifah ini nanti dalam hidup berkeluarga dengan saudara-saudara lainnya, tentu akan ada rasa iri dan kecewa.

Tidak cukup sampai situ, bagaimana dengan anak-anak mereka nanti, begitu si anak tahu kalau ibunya adalah syarifah tetapi abahnya bukan sayyid. Bagaimana beliau berinteraksi dengan saudara-saudara sepupu beliau yang sayyid. Disana akan timbul kekecewaan dan kecemburuan sosial yang dalam.

PENUTUP

Masalah kafa’ah sekali lagi adalah hak dari istri dan wali nya. Masalah persetujuan mempelai adalah bersifat teknis. Orangtua pun tidak ingin mengambil resiko dengan memaksakan putrinya menikah dengan seseorang sekalipun sayyid. Apalah gunanya menikahkan anak-anak dengan cara paksaan. Sedangkan tidak secara paksa saja kadangkala bisa bubar, apalagi yang nikahnya dipaksa. Yang perlu diperhatikan di kalangan Alawiyyin adalah mendidik anak-anak sejak dini agar mereka mengetahui dan mengenal apa itu sayyid, apa itu syarifah, dan apa itu kafa’ah dalam pernikahan. Penyimpangan yang terjadi di kalangan keluarga Ba’alwi antara lain dikarenakan :

  • Orang tua yang bergaya modern
  • Tidak mengetahui makna Dzuriyyat Nabi
  • Kurang bergaul dalam lingkungan habaib
  • Terlanjur menikahkan puterinya dengan selain sayyid
  • Mendapat informasi dari sumber yang membenci Ba’alawi
  • Ke-aku-an-nya yang berlebihan (egois)
  • Merasa malu mencarikan jodoh untuk puterinya
  • Dan lain-lain

Wahai Allah yang memiliki kerajaan di langit dan di bumi, kami mohon perlindungan Mu atas Dzurriyat Rasul-Mu yang telah engkau muliakan, lindungilah mereka semuanya dari segala jenis kejahatan yang datang dari setan, iblis jin dan manusia. Karuniakanlah kepada mereka kepahaman tanggung jawab sebagaimana yang dikehendaki oleh datuk mereka Nabi-Mu kekasih-Mu Muhammad ibn Abdillah saw.

Akhirnya ampunilah kami, maafkanlah kami juga kedua orangtua kami serta Dzuriyyat Nabi saw semuanya, dan jadikanlah kami semuanya orang-orang yang bersyukur atas semua nikmat yang telah dan akan Engkau karuniakan kepada kami semuanya. Ya Allah yang Maha Agung teguhkanlah kaki kami agar senantiasa kuat berpijak dijalan para pendahulu kami yang baik lagi mulia, agar dengan itu kami dapat mencapai kebahagiaan hidup dan kemuliaan mati sebagaimana yang engkau karuniakan kepada mereka ya Allah.

Kepadamu ya Allah kami berserah diri, Ya Allah yang Maha Terpuji, segala puja dan puji hanya bagi-Mu ya Allah pemilik alam semesta, Aamin yaa rabbal ‘aalamiin.

Laa hawla walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhiim

Tentang crb

Belum ada komentar

  1. Sayid ridwansyah al habsyi

    Bib carikan ana syarifah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *